17 December 2008

Rollies

ROLLIES adalah grup kebanggan kota kembang Bandung tahun 1967 hingga awal 1990 disamping grup- grup lain semisal Giant Step, Freedom of Rhapsodia, Superkid, Shark Move, Bimbo, Paramors, Harry Roesli and His Gang, G’Brill, 23761, dan One Dee and Lady Faces.

Otak dari Rollies sebenarnya adalah Deddy Sutansa (kemudian menjadi Stanzah). Seorang pemetik gitar, bas, dan juga penyanyi yang karismatis pada zamannya. Dalam sebuah penampilannya di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki, Deddy tampil sendirian dan hanya gitar menemaninya. Begitu dia terdengar langkahnya di panggung yang masih gelap, penonton sudah bersorak menyambut.

Utje F Tekol yang kemudian menggantikannya sebagai pemetik gitar bas mengakui sempat tidak percaya bahwa dia bisa mengambil posisi Deddy di Rollies tahun 1974. Menurut Utje, sebelum bergabung dia memang penggemar fanatik Rollies dan pengagum Deddy Stanzah.

Kelahiran Rollies diawali ketika Deddy bertemu dengan Iwan Krisnawan dan Tenku Zulian Iskandar dari grup Delimars serta Delly Djoko Alipin dari grup Genta Istana. Deddy mengajak mereka bergabung dalam sebuah grup yang diberi nama Rollies pada bulan April 1967. Orangtua Deddy yang pengusaha hotel menjadi penyandang dana dan menyediakan semua peralatan musik yang diperlukan. Rollies mulai malang melintang di negeri sendiri dengan membawakan lagu-lagu The Beatles, Bee Gees, Hollies, Marbles, Beach Boys, Herman Hermits, juga lagu populer dari Tom Jones dan Englebert Humperdink. Setelah itu baru mereka mengisi acara di kelab malam Singapura tahun 1969.

Ketika tampil di negeri jiran itu, personel Rollies sudah diperkuat Gito dan Benny Likumahuwa. Lagu yang mereka bawakan pun berkembang dan mulai mengandalkan alat musik tiup, masa trade-mark Rollies sebagai pembawa lagu-lagu James Brown BST (Blood Sweat and Tears) dan Chicago dimulai. Di sana mereka tidak hanya berkesempatan manggung.

Deddy Stanzah dan kawan- kawan juga masuk studio rekaman EMI dan Philips, menghasilkan dua piringan hitam (PH). Dalam PH khusus lagu- lagu barat, Delly membawakan lagu Gone are the Song of Yesterday, It’s a Man’s Man’s World, I Feel Good, yang kemudian memang sering dibawakan Rollies di panggung. Sementara PH lainnya berisi lagu berirama melayu dan semikeroncong, seperti Bandar Jakarta, Sansaro, Putri Solo, dan Selayang Pandang. Rollies juga pernah mengiringi sejumlah penyanyi Indonesia yang rekaman di Kota Singa seperti Aida Mustafa.

Namun, pengalaman yang paling sulit dilupakan selama di Singapura adalah kecelakaan lalu lintas yang nyaris merenggut nyawa anggota grup asal Bandung itu pada tahun 1971. Sopir asal Singapura yang membawa kendaraan tewas. Benny dan Iskandar pingsan dengan penuh luka di kepala. Gito dan Delly bengkak sekujur tubuh, Deddy dan Iwan mengalami robek di bagian kepala.

Akibat peristiwa itu, Deddy dipanggil pulang ke Jakarta. Pada waktu itu sebuah grup dari Indonesia, Paramors, sedang luntang lantung karena ditelantarkan agennya, salah satu anggota grup itu, Bonnie Nurdayah, bersedia bergabung sebagai anggota baru Rollies.

SELESAI kontrak di Singapura, Rollies tidak kembali ke Bandung, melainkan menuju Medan. Main di kelab malam selama enam bulan dan setelah itu ke Bangkok untuk tampil di kelab malam juga. Mereka mengambil kesempatan itu karena Bangkok waktu itu bisa dikatakan sebagai pusat hiburan di Asia Timur. Siapa tahu setelah itu bisa ke Beirut dan kemudian puncaknya Las Vegas, pusat hiburan dunia.

Benny yang menjadi inspirator konsep musik Rollies bermaksud membawa grup itu sampai ke negeri Paman Sam. Tapi, anggota yang lain hanya bisa tahan selama satu bulan di Negeri Gajah, padahal mereka dikontrak enam bulan. Untuk meneruskannya, Benny terpaksa membentuk grup Augesindo, kependekan dari negara pemusiknya yang berasal dari Australia, Jerman, Singapura, dan Indonesia.

Akan tetapi, Perang Vietnam menyebabkan kehidupan malam di Bangkok memudar. Benny yang sebelum menjadi anggota Rollies sudah bermain jazz bertemu pianis jazz, Bill Saragih, yang mengajaknya pindah ke Australia. Benny setuju, tapi terlebih dahulu ingin kembali ke Jakarta.

Di Jakarta Benny justru jatuh cinta kedua kalinya kepada Rollies. Apalagi kehidupan showbiz sedang marak sehingga honor yang diperoleh Rollies cukup besar, bahkan lebih besar dari yang pernah didapat di Singapura maupun Bangkok. Waktu itu Rollies dibayar Rp 3 juta hingga Rp 5 juta untuk satu kali manggung. Sebagai perbandingan, grup musik lain memperoleh di bawah Rp 1 juta.

Dalam satu minggu Rollies bisa naik-turun panggung dua hingga tiga kali. Tur show hingga lebih dari 10 kota sudah dilakukan Rollies waktu itu. Namun, Iwan Krisnawan, Tenku Zulian Iskandar, dan Bangun Sugito yang terperangkap narkoba menyebabkan Benny dan anggota lainnya harus bekerja ekstra keras.

Bukan hal yang aneh jika dalam penampilan rutin mereka di kelab malam tiba-tiba suara drum hilang. Ternyata Iwan yang sedang teler terkapar di belakang panggung. Bisa juga dalam sebuah pertunjukan yang hadir hanya Benny, Bonnie, Delly, dan Iwan, sedangkan Deddy Stanzah, Iskandar, dan Gito belum datang. Mereka terpaksa menyelesaikan satu babak penampilan, setelah itu baru muncul Gito, Deddy, dan Iskandar. Kejadian seperti ini oleh penontonnya justru dianggap sebagai sebuah kejutan: sang superstar Gito baru hadir pada puncak acara, padahal datangnya terlambat.

YANG nyaris fatal adalah ketika Rollies manggung di lapangan terbuka, Stadion 10 Nopember Surabaya, menjelang akhir tahun 1973. Setelah menyanyikan sejumlah lagu, tiba- tiba Deddy, Gito, dan Iskandar secara bergiliran ambruk dan tergeletak di panggung, dan Iwan menyusul. Lucunya penonton bersorak, mengira peristiwa adalah bagian dari atraksi.

Yang paling pusing tentunya Benny, Bonnie, dan Delly dan harus terus memainkan musik, bahkan sambil menyanyi. Inilah barangkali kelebihan Rollies, hampir semua anggota bisa menyanyi. Sebagai penyanyi utama, Gito boleh saja terkapar, tapi yang lainnya bisa meneruskan lagu yang belum diselesaikannya.

Kejadian seperti itu bisa dikatakan tidak tercium oleh media massa sehingga ambruk dan terkaparnya anggota Rollies itu tetap dianggap masyarakat sebagai hal yang wajar. Justru dengan semua itu Rollies semakin digemari dan dielu-elukan sebagai supergrup, sebuah sebutan untuk grup musik nomor satu.

Tak heran jika Benny dan kawan-kawan menjadi trend setter. Uang pun mengalir bak air Cikapundung, hingga ganti mobil setiap waktu bagai membalikkan telapak tangan. Sedemikian naik daunnya Rollies, sampai-sampai mereka menjadi model butik Mic Mac. Bahkan kemudian manajemen Rollies memproduksi sendiri sepatu dan pakaian merek Apple.

Sayangnya, Iwan dan Deddy yang terus dicengkeram narkoba semakin sering datang terlambat di waktu latihan maupun pertunjukan. Karena ketidakdisiplinan ini, keduanya dipersilakan meninggalkan Rollies. Mereka diganti Jimmy Manoppo dan Utje F Tekol, pada tahun 1974. Rollies pun memiliki susunan anggota yang paling lama bertahan: Bonnie (penyanyi, gitar), Iskandar (tenor saksofon), Benny Likumahuwa (bariton/alto saksofon, flute, trombon), Delly (penyanyi, keyboard), Utje F Tekol (bas), Didit Maruto (trompet), Jimmy Manoppo (drum), dan Gito (penyanyi).

Dengan formasi ini, semakin kokoh pengakuan bahwa Rollies adalah Chicago van Bandung karena hampir semua lagu populer grup asal Amerika itu mereka bawakan di atas panggung: Saturday in The Park, Just You and Me, Old Days, Wishing You were Here, Harry Truman, Call on Me, di samping lagu-lagu Blood Sweat and Tears, Spinning Wheel, Hi Di Ho, serta lagu-lagu grup Yes, Fire Bird, James Brown It’s A Man’s Man’s World, atau Getsemane dari soundtrack film Jesus Christ Superstar, yang diproduksi tahun 1973 dan diangkat dari drama musikal populer di Broadway.

Kelebihan Rollies yang paling menonjol adalah rasa percaya diri yang luar biasa pada setiap anggotanya. Gito, Iskandar, dan Delly, misalnya, juga meniup trompet dalam usaha mereka mengidentikkan diri sebagai sebuah grup brass-rock. Tapi, lama-lama mereka keteteran karena Gito harus menyanyi, Delly yang bertugas di keyboard juga harus menarik suara, dan Iskandar harus memainkan gitar.

Kalau suaranya menurun, biasanya Gito beralasan karena dia harus meniup trompet. Sebaliknya kalau ditanya kenapa tiupannya semakin lemah, jawabnya enteng saja, "Saya kan penyanyi". Itulah sebabnya mereka merekrut Benny Limahuwa dan Didiet Maruto.

Meski sering cekcok di belakang panggung, jika sudah berhadapan dengan penonton, mereka menjadi sebuah grup yang sangat kompak dan hampir selalu tampil dengan pakaian rapi. Perancangnya bukan lain adalah Deddy Stanzah. Mereka juga dikenal royal dan suka melemparkan pakaian yang dikenakan kepada penonton.

Kebesaran nama Rollies diakui Jimmy Manoppo dan Utje F Tekol yang menyatakan pada awalnya bertanya-tanya apa betul mereka sudah menjadi anggota Rollies. Ketika pertama kali tampil, keduanya bahkan gemetaran dan keringatan. Untuk menjadi anggota Rollies, mereka harus menyingkirkan puluhan pelamar lainnya.

SEPANJANG perjalanannya, Rollies menghasilkan 15 PH/album rekaman. Tahun 1971 di Philips dan EMI, dua PH dan satu PH mengiringi Aida Mustafa. 1972-1975 di Remaco tiga PH (masuk masa kaset) yang antara lain melahirkan lagu Salam Terakhir karya Iwan Krisnawan dan Setangkai Bunga (Iskandar). Tahun 1976-1979 di Musica Studio’s lima album yang menelurkan lagu-lagu Keadilan, Hari Hari, dan Kemarau. Lagu Kemarau yang sama sekali tidak diperhitungkan baru dikeluarkan dari "peti es" tahun 1979 meskipun selesai dikerjakan tahun 1977.

Walaupun menyandang julukan grup brass-rock nomor satu, ketika menggarap lima album rekaman di Musica Studio’s, Rollies mengalami masa stagnasi. Nyaris tidak terlihat usaha mereka untuk menghasilkan lagu-lagu yang baik dan musik yang mereka kerjakan terkesan dibuat tidak seserius sebagaimana menyiapkan diri untuk tampil dalam sebuah pertunjukan. Sementara grup musik baru seperti Krakatau, Halmahera, dan Karimata dengan kualitas musik yang mengagumkan ternyata tidak menggugah personel Rollies. Mereka terkesan kena penyakit post-power sindrom.

Selain Kemarau dan Hari Hari, yang lainnya diambil dari Titiek Puspa, Bimbi atau Anto. Kau Yang Kusayangi, Keadilan.

Melihat kenyataan itu, Benny memutuskan mundur dan meninggalkan Rollies. Padahal, sebagai penata musik, Benny sudah memperlihatkan kebolehannya dalam Salam Terakhir dan Setangkai Bunga. Setelah Benny menarik diri, Rollies masih menghasilkan empat album: Dunia Dalam Berita (1983), Astuti (1984), Problema (1985), dan Iya kan? (1990).

Ketika awal grup ini terbentuk, Deddy Stanzah dan kawan- kawan senantiasa berusaha berinovasi, antara lain dengan mengajak pemusik "sekolahan" Benny Likumahuwa yang mahir membaca not balok dan menulis aransemen. Menambah orkestrasi dalam pertunjukan dan ketika mendampingi grup asal Amerika, No Sweat, di Istora Senayan tahun 1974, mereka menambah aransemen musiknya dengan tabuhan gamelan yang dimainkan anggota Rollies sendiri. Instruktur gamelannya tidak lain Benny Likumahuwa. Sampai sekarang Rollies tidak pernah bubar meskipun anggota yang tersisa tinggal Gito, Benny, Utje, Jimmy, Didit, dan Iskandar.

Selain memiliki sebuah butik dan peralatan musik, Rollies juga sempat punya sebuah panggung berjalan yang mereka gunakan dalam perjalanan pertunjukan turnya di sejumlah kota. Semuanya habis begitu saja. Begitu juga penghasilan yang termasuk sangat besar nominalnya yang diperoleh anggota Rollies nyaris tidak berbekas. Benny Likumahuwa, yang sekarang berusia 58 tahun, mengaku rumah yang didiaminya sekarang justru dia peroleh dengan bermain musik jazz.

Gito menyatakan hal yang sama. Apa yang dia peroleh sekarang adalah hasil sebagai pemain sinetron dan bersolo karier sebagai penyanyi.

Memasuki abadi ke-21, Rollies kehilangan sekaligus empat anggotanya, yakni Deddy Stanzah yang tutup usia tahun 2001, Delly (2002), Bonnie (2003) dan yang terakhir adalah Gito yang tutup usia pada 28 Februari 2008 kemarin. (Sumber: Theodore KS)

14 December 2008

AKA

Grup musik rock AKA (singkatan dari Apotik Kali Asin, apotik milik orang tua Ucok Harahap, tempat mereka bermarkas dan latihan) dibentuk di Surabaya pada 23 Mei 1967 dengan formasi awal: Ucok Harahap (keyboard/vokal utama), Syech Abidin (drum/vokal), Soenata Tanjung (guitar utama/vokal), dan Peter Wass (bass). Peter Wass digantikan oleh Lexy Rumagit karena cedera ketika granat yang disiapkan untuk aksi panggung grup rock Ogle Eyes di Lumajang tiba-tiba meledak dan melukainya. Sejak 1969, Lexy Rumagit digantikan oleh Arthur Kaunang (ayah dari Tessa Kaunang). Yang patut dicatat, semua pemain bass AKA adalah pemain kidal. Single mereka yang berjudul Crazy Jo sempat menempati Top Chart di Australia.
AKA — yang waktu itu memang digemari anak-anak muda — dikenal sebagai grup rock eksentrik. Dalam pertunjukan di Arena Terbuka Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 9-10 November 1973, ketika AKA tengah membawakan lagu Crazy Joe, tiba-tiba Ucok melompat ke tembok dan naik ke genteng. Setelah itu, ia muncul di panggung dengan tiba-tiba sambil membiarkan dirinya dicambuki oleh algojo. Kakinya diikat, dan tubuhnya digantung. Kemudian ia ditusuk dengan pedang dan dimasukkan ke peti mati. Aksi ini mencekam penonton namun memperoleh sambutan meriah. Seusai aksi ini, Ucok terlihat kejang-kejang seperti kesurupan di belakang panggung. Situasi ini segera teratasi ketika Remy Silado yang menyaksikan atraksi gila ini menyiramkan seember air ke tubuh Ucok. (Dikutip dari berbagai sumber)

13 December 2008

IKANG FAWZI

Setelah menyelesaikan pendidikan di SMU, Ikang kian mengembangkan bakat bermusiknya bersama temannya Addie M. S.. Beberapa album yang telah dikeluarkan oleh Ikang antara lain, "Selamat Malam", "Randy & Cindy", "Preman", "The Very Best of Ikang Fawzi" dan album teranyarnya "Dua Sisi". Album "Selamat Malam" berisi 10 lagu, 8 di antaranya di aransemen oleh Addie M. S., yang berperan juga sebagai music directornya. Sedangkan album terbarunya, "Dua Sisi", dirilis April 2005 setelah hampir 20 tahun tidak mengeluarkan karyanya. Ikang pernah mendapat gelar "The Best Rocker" pada tahun 1987.

Ikang juga sempat merambah seni peran debgan membintangi "Pengantin Remaja II" (1982). Kemudian dipasangkan dengan artis cantik Marissa Haque dalam film "Tinggal Landas Buat Kekasih” dan "Yang Kukuh Runtuh" (1985). Mereka bermain bersama setelah menikah dalam film Biarkan Bulan Itu (1987).

Ikang juga pernah bermain bersama Rhoma Irama. Dalam film tersebut Ikang juga berpartisipasi mengisi soundtrack film tersebut dengan lagunya yang melegenda, "Preman". (Dikutip dari berbagai sumber)