24 February 2009

SATU LAGI DARI BENNY

Grup band asal Bandung ini bisa dibilang nyeleneh pada masa kejayaannya di era 70an. Pasalnya Giant Step paling enggan (bahkan tidak pernah) membawakan lagu dari band-band luar negeri yang ngetop pada masa itu. Mereka bangga membawakan lagu-lagu mereka sendiri dimana grup-grup rock lain sering membawakan lagu-lagu dari The Beatles, Rolling Stones, Led Zepelin, Deep Purple, dll.

Setelah Shark Move bubar jalan, tahun 1975 Benny Soebardja bersama Albert Warnerin membentuk Giant Step (konon nama Giant Step diambil dari stiker yang menempel di gitar milik Remy Silado pada saat mereka akan manggung di ITB Bandung). Tahun itu pula Giant Step mengeluarkan album pertamanya yang bertitel Mark I. Formasi dalam album ini selain Benny dan Albert adalah Deedy Dores, Adhi Haryadi dan Janto Sudjono (sebelumnya formasi ini tercatat Jockie Suryoprayogo dan Deddy Stanzah juga pernah memperkuat Giant Step sebelum akhirnya Jockie diambil God Bless dan Deddy Stanzah membentuk Superkid bersama Jelly Tobing).

Seperti halnya grup-grup musik Indonesia pada umumnya, pengaruh musik grup-grup luar juga kental terasa walaupun (katanya) Giant Step lebih memiliki orisinalitas dalam bermusik dibanding grup-grup Indonesia lainya.
Album Giant On The Move yang akan saya sajikan untuk anda adalah album keduanya yang dirilis tahun 1976 dengan formasi Benny, Albert, Adhy, Triawan Munaf (menggantikan Deddy Dores) dan Haddy Arief (mengganti Janto). Album kedua ini lebih kental dengan nuansa prog rock nya dibanding album pertamanya.

GIANT STEP - GIANT ON THE MOVE (1976)
  1. Farewell Today
  2. Giant On The Move
  3. Liar
  4. A Fortunate Paradise
  5. Allusion Way
  6. Decisions
  7. Waste Time
  8. So Long
  9. Air Pollution

18 February 2009

THE ROLLIES - BRASS SECTION BAND ALA BANDUNG

Sebut saja Chicago nya Indonesia atau Tower OF Power atau boleh juga James Brown. Itulah gaya musik yang The Rollies tawarkan untuk masyarakat Indonesia. Grup band asal Bandung ini memang mencoba memberi alternatif lain karena saat itu bursa musik tanah air didominasi oleh band-band pop macam Panbers atau The Mercy's. Dan tampaknya alternatif ini dapat diterima oleh penikmat musik tanah air.
Dengan mengkolaborasikan jazz rock ala Chicago dan Tower Of Power bahkan kadang-kadang muncul juga Blood Sweat and Tears (kalau teman saya bilang Blood Sweat and Tears = kerja keras, darah keringat dan air mata) dengan dipadukan musik soul ala King Of Soul James Brown, jadilah The Rollies ikut mengibarkan namanya di blantika musik rock Indonesia tahun 70 an selain Giant Step, AKA dan God Bless.
The Rollies juga terkenal karena grup ini cukup fashionable seperti pada gambar diatas yang bisa dikatakan tidak lazim pada masa itu. Kadang-kadang mereka tampil rapi dengan mengenakan jas seperti The Beatles. Dengan bergaya seperti ini The Rollies bisa dikatakan sebagai ikon anak muda tahun 70an.
Ada berita unik (kalau sekarang mungkin gosip infoteinment) yang saya kutip dari Majalah Aktuil tahu 1971 tentang perseteruan The Rollies dengan Panbers.

ROLLIES DITANTANG PANBERS.
Panbers atau Panjaitan Bersaudara, salah satu top band Jakarta telah melancarkan sebuah tantangan yang ditujukan kepada top band Bandung Rollies group. Akibat Rollies tidak jadi main ketika Musical Performances Underground Open Air Show baru-baru ini di TIM, maka band Panbers dan Gipsy juga tidak jadi main. Komentar Rollies terhadap tantangan itu: “Boleh saja…tentukan saja tanggal dan tempatnya asal di kota yang netral!”
(Dikutip dari berbagai referensi)


THE ROLLIES - TIADA KUSANGKA (1976)

13 February 2009

SHARK MOVE

Album semata wayang Shark Move ini pertama kali dirilis pada tahun 1970. Dari berbagai sumber didapat informasi bahwa mungkin album Ghede Chokra's merupakan album indie pertama di Indonesia, karena semua proses produksinya termasuk pembiayaanya dan pendistribusiannya dilakukan sendiri oleh para personilnya sendiri dibawah label Shark Move Records sehingga idealisme bermusik mereka tidak dipengaruhi oleh pihak manapun. Majalah Rolling Stones Indonesia menempatkan album ini sebagai salah satu dari 150 album terbaik dalam kurun waktu 50 tahun terakhir.
Corak musik Shark Move yang beranggotakan Benny Soebardja (vocals, guitar), Bhagu Ramchand (vocals), Janto Diablo (vocals, flute, bass guitar), Sammy Zakaria (drums, background vocals) dan Soman Loebis (vocals, piano, keyboards, percussion) tidak lepas dari pengaruh band-band progressive luar negeri terutama Jethro Tull (sangat terasa di lagu andalannya My Life).
Pada tahun 2007 Shadocks Record, sebuah perusahaan rekaman Jerman, tertarik untuk merilis ulang album Ghede Chokra's ini (kok dari negeri sendiri gak ada yang tertarik untuk merilis ulang ya??). jadilah Album ini go international setelah lebih kurang 35 tahun terlupakan dan ternyata mendapat sambutan yang cukup baik dari penikmat dan kritikus musik internasional.
Pada 30 April 2008 Shark Move (waktu itu meyisakan 2 personilnya Benny Soebardja dan Janto Diablo) sempat tampil di Sabuga, Bandung, dalam rangka penghormatan untuk alm. Gito Rollies. Mereka membawakan 4 lagu yaitu My Life, Butterfly, Bingung, dan Madat. Dengan dibantu oleh musisi dari generasi di bawahnya tidak mengurangi kedahsyatan mereka di atas panggung.

SHARK MOVE - GHEDE CHOKRA'S (1970)

05 February 2009

VINA PANDUWINATA

Vina Dewi Sastaviyana Panduwinata - lebih akrab disapa Vina Panduwinata - lebih banyak menghabiskan masa kecil dan remajanya di berbagai negara (mengikuti orang tuanya yang diplomat). Saat berada di Jerman, Vina sempat rekaman dua single piringan hitam, ‘Java dan Single Bar’ serta ‘Sorry, Sorry dan Touch Me’.
Ketika kembali ke tanah air, Vina bertemu dengan musisi Mogi Darusman. Mogi langsung tertarik akan karakter vokal Vina lalu mempromosikannya ke berbagai perusahaan label rekaman.

Tahun 1981, album perdananya yang berjudul ‘Citra Biru’ diluncurkan di bawah label Jackson Record. Perhatian masyarakatpun langsung terpusat pada penyanyi sarat prestasi ini dan Majalah Gadis menganugrahinya sebagai Penyanyi Wanita Terbaik.


Pada 18 Februari 2006, setelah 25 tahun malang melintang di industri musik Indonesia, Vina menggelar konser tunggal yang bertajuk 'Viva Vina' di Jakarta Convention Center.

Prestasi nasional dan internasional yang pernah diraih Vina antara lain:

  • Penyanyi pada RCA, Hambrug, Jerman (1978-1979)
  • Penampil terbaik Festival Lagu Populer Nasional 1983 (lagu ‘Salamku Untuknya’)
  • Penampil terbaik Festival Lagu Populer Nasional 1984 (lagu ‘Aku Melangkah Lagi’)
  • Penampil terbaik Festival Lagu Populer Nasional 1985 (lagu ‘Burung Camar’)
  • Pembawa lagu terbaik Festival Lagu Pop Internasional Tokyo 1985 (lagu ‘Burung Camar’)
  • Peserta Asia Pacipic Broadcasting Union Pop Song Contest, Singapura (1985)
  • Peraih Lifetime Achievement AMI Awards 2006

(Dikutip dari berbagai sumber)


The Best Of Vina Panduwinata (Versi JaDuLMaN)

  1. Kisah Insani (Feat. Chrisye)
  2. Satu Dalam Nada Cinta
  3. Burung Camar
  4. Citra Biru
  5. Surat Cinta
  6. Aku Makin Cinta
  7. Biru
  8. Cinta
  9. Di Dadaku Ada Kamu
  10. Dua Anak Manusia
  11. Kumpul Bocah
  12. Wow
  13. Percayalah Kasih (Feat. Iwan Fals & Jockie S)
  14. Dia
  15. Bawalah Daku
  16. September Ceria
  17. Aku Melangkah Lagi
  18. Logika

FLOWER POWER IN ROCK

( Sebuah Kenangan Akan Era Keemasan Anak Anak Bandung)

Pada era tahun 1970’an di Bandung merupakan pusat seni dan mode di tanah air, para anak muda dan anak band berlomba berambut panjang sampai melebihi panjangnya rambut perempuan seperti Remy Silado, Deddy Dores, Benny Soebardja, Triawan Munaf dll atau yang model kribo seperti Deddy Stanza atau Gito Rollies. Sempat juga rambut panjang tersebut dilarang pihak yang berwajib yang acapkali melancarkan razia rambut gondrong waktu itu Kokamtib ikut ikut pula memberangus rambut gondrong bahkan di TVRI ada aturan aturan memiliki rambut bagi penyanyi atau pemain band pria.
Band-band rock Bandung yang saat itu bermunculan sangat banyak jumlahnya, misalnya Savoy Rhythm, Provist (Progressive Student), Diablo Band, The Players, Happiness, Thippiest, Comets, DD (Djogo Dolok), Jack C’llons, C’Blues, Memphis (yang kemudian menjadi Man Face), Delimas, Rhapsodia, Batu Karang, The Peels, Shark Move Red&White, Topics&Company, The Rollies, Philosophy Gang Of Harry Roesli, Giant Step, Paramour, Finishing Touch, Freedom ,Lizard, Big Brothers dan masih banyak lagi.
Banyak dari mereka yang sukses bahkan bertahan namun tidak sedikit yang bertumbangan ditengah jalan dan ada pula para vokalisnya yang dapat bertahan tetapi berganti genre musiknya bahkan ke Dangdhut!.
RHAPSODIA
Menurut Ali Gunawan, Rhapsodia, band ini sering bongkar pasang personil, atau retak sehingga pernah ada tiga nama Rhapsodia, atau dengan embel-embel kata Rhapsodia. Seperti :Rhapsodia, Freedom Of Rhapsodia atau Giant Step Of Rhapsodia..
Rhapsodia mula pertama terdiri dari Ute (bas), Alfred (gitar), Ibung (drum), Sondang (keyboard), dan Alam (vokal). Gaya Alam di panggung cukup unik karena bertingkah seperti seekor gorila. Kemudia pada generasi keduanya formasi Rhapsodia terdiri dari : Deddy Dores(vokal&guitar), Dave Tahuhey (saxofon&vokal), Johanes Sarwono (keyboard,sekarang Pengacara), Kikky (drum), Utte (bass) dan Soleh Sugiarto ex C’Blues (vokal, sekarang anggota DPRD Jabar).
Rhapsodia (1969-1972) yang pada tahun 1971 melempar album pertamanya ”Hilangnya Seorang Gadis” dari album ini mereka secara komersial meraih sukses besar dan melejitkan nama Deddy Dores. Order manggungpun sangat padat karena di Rhapsodia ini Deddy Dores saat itu disebut sebut sebagai Edger Winter-nya Indonesia karena gaya permainannya dan senangnya dia menyanyikan lagu lagu Edger Winter seperti Southern Woman, Free Ride dll adalah motor penggerak hidupnya aksi panggung disamping kelincahan lead vokalnya Soleh Sugiarto yang saat itu disebut sebut sebagai Alice Cooper-nya Indonesia. Ada lima album yang mereka hasilkan sebelum dan sepeninggal Deddy Dores.
Ada dua lagu berbahasa Inggris yang sempat top dari Rhapsodia yaitu I Hear Someone dan Free To Love Another Girl namun band ini setelah melepas satu album sepeninggal Deddy Dores (yang ditarik Iyek ke Godbless) praktis vakum dan setelah itu bubar!.
THE ROLLIES
The Rollies diawali ketika Deddy Sutansyah bertemu dengan Iwan Krisnawan dan Teuku Zulian Iskandar Madian dari grup Delimars serta Delly Djoko Alipin dari grup Genta Istana. Deddy mengajak mereka bergabung dalam sebuah grup yang diberi nama Rollies pada bulan April 1967. Orangtua Deddy yang pengusaha hotel menjadi penyandang dana dan menyediakan semua peralatan musik yang diperlukan. Rollies mulai malang melintang di negeri sendiri dengan membawakan lagu-lagu The Beatles, Bee Gees, Hollies, Marbles, Beach Boys, Herman Hermits, juga lagu populer dari Tom Jones dan Englebert Humperdink.
Ketika awal grup ini terbentuk, Deddy Stanzah dan kawan- kawan senantiasa berusaha berinovasi, antara lain dengan mengajak pemusik "sekolahan" Benny Likumahuwa yang mahir membaca not balok dan menulis aransemen. Menambah orkestrasi dalam pertunjukan dan ketika mendampingi grup asal Amerika, No Sweat, di Istora Senayan tahun 1974, mereka menambah aransemen musiknya dengan tabuhan gamelan yang dimainkan anggota Rollies sendiri. Seperti yang mereka lakukan di pesta musik ala Woodstock ”Summer 28, 1973” di Ragunan. Instruktur gamelannya tidak lain Benny Likumahuwa. Sampai sekarang Rollies tidak pernah bubar meskipun anggota yang tersisa tinggal Gito, Benny, Utje, Jimmy, Didit, dan Iskandar.
Dengan formasi ini The Rollies semakin kokoh bahkan menjadi band pembuka konser Bee Gees 2 April 1972 di Istora Senayan serta Shocking Blue 23 Juli 1972 di Taman Ria Monas dan grup asal Amerika, No Sweat, di Istora Senayan tahun 1974 pengakuan bahwa Rollies adalah Chicago van Bandung karena hampir semua lagu populer grup asal Amerika itu mereka bawakan di atas panggung: Saturday in The Park, Just You and Me, Old Days, Wishing You were Here, Harry Truman, Call on Me, di samping lagu-lagu Blood Sweat and Tears, Spinning Wheel, Hi Di Ho, serta lagu-lagu grup Yes, Fire Bird, James Brown It’s A Man’s Man’s World, atau Getsemane dari soundtrack film Jesus Christ Superstar, yang diproduksi tahun 1973 dan diangkat dari drama musikal populer di Broadway.
Meski sering cekcok di belakang panggung, jika sudah berhadapan dengan penonton, mereka menjadi sebuah grup yang tampil sangat kompak dan hampir selalu tampil dengan pakaian rapi. Perancangnya tiada lain adalah Deddy Stanzah. Mereka juga dikenal royal dan suka melemparkan pakaian yang dikenakan kepada penonton.
Kebesaran nama Rollies diakui Jimmy Manoppo dan Utje F Tekol yang menyatakan pada awalnya bertanya-tanya apa betul mereka sudah menjadi anggota Rollies. Ketika pertama kali tampil, keduanya bahkan gemetaran dan keringatan. Untuk menjadi anggota Rollies, mereka harus menyingkirkan puluhan pelamar lainnya.
Sepanjang perjalanannya, Rollies menghasilkan 15 PH/album rekaman. Tahun 1971 di Philips dan EMI, dua PH dan satu PH mengiringi Aida Mustafa. 1972-1975 di Remaco tiga PH (masuk masa kaset) yang antara lain melahirkan lagu Salam Terakhir karya Iwan Krisnawan dan Setangkai Bunga (Iskandar). Tahun 1976-1979 di Musica Studio’s lima album yang menelurkan lagu-lagu Keadilan, Hari Hari, dan Kemarau. Lagu Kemarau yang sama sekali tidak diperhitungkan baru dikeluarkan dari "peti es" tahun 1979 meskipun selesai dikerjakan tahun 1977 serta ada beberapa lagu berbahasa Inggeris yang tambah melambungkan nama The Rollies antara lain : Sign Of Love dan The Love Of A woman bahkan Gone are the Song of Yesterday sampai masuk Top Ten di radio Australia diawal tahun 70’an sedangkan Gito menyanyikan; It’s a Man’s Man’s World, I Feel Good dll yang kemudian memang sering dibawakan Rollies dan masterpiece dari Rollies, berjudul Kemarau, karya pemetik gitar basnya, Utje F Tekol, yang berdarah Manado, Ambon, Jawa, dan Belgia, tapi bangga sebagai warga Bandung serta perilakunya juga sangat sunda sekali. Lagu ini memperoleh penghargaan Kalpataru dari Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim tahun 1979. Lagu Rollies populer lainnya adalah Salam Terakhir, Hari Hari, Astuti, dan Setangkai Bunga
Selain Kemarau dan Hari Hari, yang lainnya diambil dari Titiek Puspa, Bimbi atau Anto. Kau Yang Kusayangi, Keadilan. Melihat kenyataan itu, pada akhirnya Benny memutuskan mundur dan meninggalkan Rollies. Padahal, sebagai penata musik, Benny sudah memperlihatkan kebolehannya dalam Salam Terakhir dan Setangkai Bunga. Setelah Benny menarik diri, Rollies masih menghasilkan empat album: Dunia Dalam Berita (1983), Astuti (1984), Problema (1985), dan Iya kan? (1990).
Waktu terus berjalan, walaupun menyandang julukan grup brass-rock nomor satu, ketika menggarap lima album rekaman di Musica Studio’s, Rollies mengalami masa stagnasi. Nyaris tidak terlihat usaha mereka untuk menghasilkan lagu-lagu yang baik dan musik yang mereka kerjakan terkesan dibuat tidak seserius sebagaimana menyiapkan diri untuk tampil dalam sebuah pertunjukan. Sementara grup musik baru bermunculan seperti Krakatau, Halmahera, dan Karimata dengan kualitas musik yang mengagumkan ternyata tidak menggugah personel Rollies. Nampaknya The Rollies-pun mulai letih mereka terkesan terkena penyakit post-power sindrom.
Tahun demi tahun berlalu, selain memiliki sebuah butik dan peralatan musik, Rollies juga sempat punya sebuah panggung berjalan yang mereka gunakan dalam perjalanan pertunjukan turnya di sejumlah kota. Semuanya habis begitu saja. Begitu juga penghasilan yang termasuk sangat besar nominalnya yang diperoleh anggota Rollies nyaris tidak berbekas. Benny Likumahuwa, yang sekarang berusia 58 tahun, mengaku rumah yang didiaminya sekarang justru dia peroleh dengan bermain musik jazz.
Gito menyatakan hal yang sama. Apa yang dia peroleh sekarang adalah hasil sebagai pemain sinetron dan bersolo karier sebagai penyanyi. Pria kelahiran Biak, Irian Jaya, 3 November 1946, ini sekarang aktif sebagai pembawa ceramah rohani untuk kaum muda dalam usahanya menyadarkan mereka akan bahaya narkoba.
THE PEELS
The Peels merupakan salah satu band bandung yang sukses walaupun aktivitas bermusik “The Peels” tidaklah panjang,namun demikian group ini telah menjadi bagian penting perkembangan musik Indonesia yang mampu menembus negeri tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia. “The Peels” pertama kali didirikan tahun 1966 oleh Benny Soebardja (yang saat itu disebut sebut sebagai Alvin Lee-nya Indonesia) bersama Gumilang Kentjana Putra, Budhi Sukma Garna (Buce) dan Dedy Budhiman Garna. Keahlian bermusik mereka diekspresikan dari panggung ke panggung di kawasan Jawa Barat.
Sementara itu, kiprah mereka di negara tetangga Singapura bermula ketika para personil “The Peels” berlibur di negeri Singa itu pada tahun
1967. Dalam masa liburan itu mereka diundang tampil dalam pertunjukkan musik bertajuk “Panggung Negara”. Penampilannya yang menawan memikat penonton di Singapura, sehingga mereka tidak saja tampil di pertunjukkan “Panggung Negara”, tetapi tampil pula di ajang lain diantaranya di Wisma House, National Theatre, “Hotel Singapura Intercontinental”, bahkan tampil di TV dan Radio Singapura.
Karena kesuksesan pertunjukkannya itu, “The Peels” pun ditawari untuk rekaman, maka meluncurlah sebuah album dengan bintang tamu “Karliana Kartasa G” berjudul The Peels By Public Demand in Singapore. Album yang direkam dalam format piringan hitam itu, kini menjadi salah satu bukti bahwa jaman dulupun group Indonesia telah berkiprah di luar negeri atau istilahnya Go International. Sangat disayangkan untuk saat ini melacak keberadaan album tersebut di Indonesia sangat sulit, kalaupun ada tentunya hanya beberapa orang
kolektor saja yang memiliki album itu.
Di tahun
1967, seorang personil masuk menambah formasi The Peels, yaitu “Soman Loebis”. Masuknya dia telah membawa warna baru bagi The Peels dengan bertambahnya genre musik yang dibawakan, tidak hanya pop tetapi juga rock dan Psychedelic. Dengan formasi terbarunya yang menjadi 5 orang ini, The Peels dikontrak secara permanen oleh management restoran Sea Dragon sebuah floating restoran (restoran terapung/diatas kapal). Lagu-lagu yang dibawakan pada saat mengisi acara di restoran itu adalah lagu-lagu milik The Beatles, John Mayall and Bluesbreaker, Jimi Hendrix serta lagu milik group-group psychedelic. Aktivitas bermusik The Peels juga merambah Kuala Lumpur, Malaysia. Di Hotel Eldorado Night Club mereka sempat melakukan pertunjukkan, namun tidak lama karena ada pertikaian rasial saat itu sehingga memaksa The Peels hengkang dari negara itu dan kembali lagi ke Singapura.
Jenuh dengan petualangan di negeri seberang, tahun
1968 The Peels pulang ke tanah air dan melakukan sejumlah konser di beberapa kota besar seperti Makasar, Palembang, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan tentunya Bandung. Lagu-lagu cover version milik group luar masih sering dibawakan dalam setiap pertunjukkannya. Namun sayang, The Peels pun bubar pada tahun 1969 tanpa dapat mengorek keterangan yang jelas, namun manajemen yang buruk dan telalu banyak ikut campur tangannya Reny Asmara sang Boss, ikut pula sebagai penyumbang masuk kuburnya The Peels.

SHARK MOVE
Benny Soebardja yang masih sangat fit saat itu selepas dari The Peels, segera dia membentuk ”Shark Move” yang terdiri dari : Benny Soebardja (vokal, gitar, pengusaha furniture yg sukses) Soman Loebis (keyboard, almarhum), “Bhagu Ramchand” (vokal, almarhum), “Sammy Zakaria” (drum, sekarang Ustadz di Lampung) dan “Janto Diablo” (bass). Setahun kemudian (1970) direlease album perdana “Ghede Chokras”. Corak musik Sharkmove adalah musik rock dengan sentuhan progressive yang kental. Warna musik progressive mereka sangat kentara di lagu “My Life”. Lagu berdurasi 9 menit ini kaya dengan chord-chord yang menawan. Lagu My Life tidak saja lagu terbaik di album Sharkmove Ghede Chokras, tetapi juga salah satu lagu rock Indonesia terbaik hingga saat ini. Namun sayang, lagi lagi band yang berkualitas ini pun bubar juga karena perbedaan visi dan prinsif serta manajemen yang tidak jelas.
Anehnya dibulan Maret tahun 2007 yang lalu , Shark Move go Internasional (dari hasil usaha fan fanatiknya Benny Soebardja bernegosiasi dengan pihak produser luar merilis ulang dengan perbaikan kualitas suaranya) dan albumnya diedarkan oleh Shadocks Jerman yang didalam resensinya Shark Move disebut-sebut sebagai “As pure & Complex as British Prog Rock Band during the beginning of 70’s.

GIANT STEP
Bubarnya Sharkmove tidak membuat hasrat seorang Benny Soebardja bermusik surut, tetapi justru memicunya untuk membuat group baru bernama “Giant Step” dengan membawa seorang personil ex-Sharkmove yaitu Sammy Zakaria di tahun 1973. Adapun formasi pertama Giant Step adalah Benny Soebardja (gitar), Deddy Sutansyah (bass), Sammy Zakaria (drum) dan Yongkie atau Jocky Soerjoprayogo yang baru saja cabut dari Godbless (keyboard). Nama Giant Step sendiri, menurut Benny, diambil dari sebuah stiker yang menempel di bungkus gitar milik Remy Sylado. Ceritanya, Benny, Yockie Soeryoprayogo, Deddy Stanzah (mantan Rollies), dan Sammy Zakaria (mantan drummer Shark Move) pada tahun 1973 hendak manggung di kampus ITB. Namun, ketika itu belum ada nama untuk band mereka.
Lalu Benny yang melihat stiker itu langsung mengusulkan nama Giant Step. Dan sejak itu Giant Step, yang dimanajeri Gandjar Suwargani (pemilik Radio OZ Bandung), secara resmi diproklamasikan.
Di awal kariernya Giant Step lebih banyak membawakan lagu-lagu milik Emerson Lake and Palmer (ELP). Ketika Giant Step berusaha eksis dengan formasi perdananya, tetapi tidak lama kemudian pada tahun 1974 dengan tidak disangka-sangka, Yockie, Sammy Zakaria dan Deddy Stanzah keluar dari Giant Step maka formasi Giant Step mengalami perubahan karena Yockie hengkang dan bermigrasi ke Malang membuat group band Double Zero, maka kedudukannya diganti oleh Deddy Dores yang pulang kampung selepas dari Godbless, begitu juga dengan Deddy Sutansyah diapun cabut dari Giant Step dan digantikan oleh Adhy Haryadi dari Menstreal Medan.
kemudian posisi Sammy Zakaria digantikan oleh Janto Sudjono ex Drummer Harry Rusli. Janto bisa di katagorikan sejajar dengan Fuad Hassan dari kehebatan permainannya namun rovel-rovelnya lebih rapih dan terarah sebagaimana puji Martha Burhan dari majalah musik TOP. Dengan formasi barunya, Giant Step masih membawakan lagu-lagu milik orang tetapi tidak Emerson Lake and Palmer saja, melainkan mulai merambah membawakan lagu-lagu Deep Purple dan pengaruh Gentle Giant mulai terasa.
Formasi ini diuji coba pada peringatan 100 hari meninggal Soman Lubis dan Fuad Hassan di Istora Senayan pada tahun 1974, pada saat itu yang tampil adalah Godbless formasi baru dan Giant Step. AKA yang direncanakan datang absent saat itu. Penulis sendiri menyaksikan acara itu.
Pada tahun 1975 Giant Step memulai era bermusiknya dengan menampilkan double guitarist dengan masuknya “Albert Warnerin” gitaris dari Gang Of Harry Rusli”. Dengan formasi ketiga ini, Giant Step mulai aktif menciptakan lagu dan konser-konser di berbagai kota. Album pertama Giant Step dirilis dipenghujung tahun 1975 dengan judul “Giant Step Mark-1” dibawah label Lucky Record. Lewat album perdananya, Giant Step mampu mengukuhkan namanya menjadi salah satu supergroup band Indonesia yang sejajar dengan Godbless, AKA atau SAS seperti pendapat Martha Burhan yang sangat mengagumi Giant Step saat itu!.
Giant Step Mark I menciptakan lagu lagunya sendiri dengan karakter khusus, lagu lagu mereka antara lain : Childhood And The Seabird, Keep A Smile, Far Away, Forfunate Paradise, My Life, dll dengan selipan beberapa lagu yang mellow yang dipersiapkan oleh Deddy Dores sebagai pakarnya.
Giant Step baru melahirkan komposisi yang sungguh-sungguh bernuansa musik rock progresif pada album kedua, ketiga, dan keempat, yaitu Giant On The Move! (1976), Kukuh Nan Teguh (1977), dan Persada Tercinta (1978). Semua lagu, baik lirik maupun musiknya, yang terdapat dalam ketiga album itu tergolong berani. Pasalnya, mereka sama sekali tidak berkompromi dengan selera pasar yang ketika itu masih didominasi lagu-lagu pop cinta remaja ala The Mercy’s dan Favourites Group.
Lagu-lagu yang terdapat di album Giant On The Move! bahkan semua liriknya ditulis dalam bahasa Inggris. Mereka mengangkat tema-tema sosial dan politik serta lingkungan, seperti Liar, Decisions, Waste Time, dan Air Pollution.
Di album ini formasi Giant Step mengalami perubahan, di mana posisi Deddy Dores (yang keluar karena membentuk Superkid dengan Jelly Tobing dan Deddy Sutansyah) digantikan oleh Triawan Munaf dan posisi Yanto Sudjono digantikan oleh Haddy Arief. Triawan dan Haddy adalah mantan anggota Lizard, salah satu band rock Bandung yang pernah mendukung proyek solo Benny dalam album Benny Soebardja & Lizard (1975).
Masih dengan formasi yang sama, pada tahun 1977 Giant Step merilis album Kukuh Nan Teguh yang, berbeda dengan album sebelumnya, berisi 11 lagu berlirik Indonesia. Di album ini pula untuk pertama kalinya mereka memasukkan unsur lagu tradisional dan dua lagu instrumental (Dialog Tanya dan Dialog Jawab), yang sekaligus menunjukkan kepiawaian para personelnya, khususnya raungan gitar Albert, menurut Riza Sihbudi permainan keyboard Triawan yang untuk masa itu bisa dibilang luar biasa.
Kendati sangat dipengaruhi band-band progresif luar, musik Giant Step sesungguhnya lebih orisinal. Itu setidaknya jika dibandingkan dengan God Bless, yang sempat mengambil potongan lagu Firth Of Fifth karya Genesis di lagu Huma Di Atas Bukit.
Nama Giant Step memang tidak sefenomenal dan melegenda seperti halnya God Bless. Namun, grup era 1970-an Band yang satu ini bisa dikatakan sebagai satu-satunya band rock Indonesia pada masa itu yang paling tidak suka membawakan lagu-lagu orang lain.
Dengan kata lain Giant Step merupakan band rock yang berani "melawan arus" pada masa itu. Ketika band-band rock pribumi lain gemar membawakan lagu-lagu karya The Beatles, Rolling Stones, Led Zeppelin, Deep Purple, Black Sabbath, atau Grand Funk Railroad, Giant Step justru lebih bangga membawakan lagu-lagu karya mereka sendiri.
"Saat itu membawakan lagu sendiri dianggap aneh," kata Triawan Munaf, mantan pemain keyboard Giant Step, yang juga sepupu Fariz RM dan ayah kandung penyanyi remaja Sherina. Namun, itulah kelebihan dan sekaligus trademark Giant Step.
Mereka juga termasuk band rock yang lumayan produktif. Setidaknya ada tujuh album yang dihasilkan dalam kurun waktu 1975-1985. Tentu bukan hanya itu, Giant Step pun termasuk dari sedikit band rock pribumi yang berkiblat pada jenis musik progresif (yang pada masa itu lebih sering disebut sebagai art rock) yang diusung grup-grup Inggris, seperti King Crimson, Jethro Tull, Pink Floyd, Gentle Giant, Yes, Genesis, dan ELP (Emerson, Lake, and Palmer).
JIKA The Beatles memiliki "dwitunggal" Paul McCartney dan John Lennon, Stones dengan Mick Jagger dan Keith Richards, atau Zeppelin dengan Robert Plant dan Jimmy Page, Giant Step pun memiliki "dwitunggal" yang bisa dianggap sebagai roh atau nyawa bagi grupnya, yaitu Benny Soebardja dan Albert Warnerin. Benny dan Albert dikenal sebagai pemain gitar dan penulis lagu yang produktif Sebagaimana Benny, Albert yang disebut sebut sebagai Jeff Back nya Indonesia termasuk salah seorang musisi andal asal Kota Kembang itu yang kemampuannya dapat disejajarkan dengan Ian Antono dan Sunatha Tanjung. Di samping gitar, ia juga menguasai beberapa alat musik lainnya, antara lain flute. Albert juga banyak terlibat dalam solo album Benny Soebardja, Superkid dan Iin Parlina.
Setelah mengalami pasang surut, gonta ganti pemain dan vakum yang lumayan lama pada tahun 1983 mereka bangkit kembali dan manggung dengan band band rock lainnya di panggung musik majalah VISTA di Taman Ria Remaja Senayan dengan formasi : Benny Soebardja, Uce F Tekol, Albert Warnerin, Triawan Munaf, Erwin Badudu dan Jelly Tobing dan dua tahun kemudian pada bulan Juni mereka merilis album Geregetan (1985).
Di album ini Giant Step tidak lagi sepenuhnya menyajikan warna musik progressive era 1970-an. Apalagi, kata Triawan, "Produsernya minta agar kita memasukkan sebuah lagu unggulan yang komersial." Toh, waktu itu mereka sempat tampil di TVRI membawakan lagu Geregetan dan Panggilan Jiwa.
Perjalanan Giant Step berakhir setelah mereka ikut tampil di acara demo solo drum Jelly Tobing pada tahun 1992. Berbagai upaya baik itu dari para fan yang cinta pada GS maupun para personilnya untuk menyatukan kembali mereka, namun tak kunjung berhasil. Berita angin mengatakan adanya perselisihan pribadi yang sulit didamaikan antara mantan "dwitunggal" Benny dan Albert Warnerin adalah sebagai salah satu penyebab terjadinya perpecahan ini .
Rupanya, fenomena dua tokoh kunci dalam satu band rock yang sulit disatukan kembali, tidak hanya dimonopoli grup-grup dunia seperti Lennon berkonfrontasi dengan McCartney (The Beatles), Roger Waters kontra David Gilmour (Pink Floyd), atau Ian Gillan melawan Ritchie Blackmore (Deep Purple).
Ada berita terbaru (25 April 2007) dari Ali Gunawan, sang raja diraja kolektor dari KPMI bahwa album Giant Step Mark I dan Giant On The Move akan di release di Jerman oleh Shadocks juga.
TRIO SUPERKID
Deddy Dores setelah hengkang dari Giant Step bersama Deddy Sutansyah yang kemudian merubah namanya menjadi Deddy Stanzah yang telah keluar dari Rollies serta Jelly Tobing yang urung menggantikan posisi Teddy Sujaya sebagai drummer di God Bless membentuk Superkid dengan Denny Sabri sebagai dokter bedah dan manajernya (ini adalah debut pertama bagi Denny Sabri sebagai manajer sebuah supergroup lokal)
Superkid mendulang sukses yang luar biasa kalau tidak mau dikatakan fenomenal. Demam Superkid terjadi dimana-mana terutama para penggemar musik rock di Jawa Barat mulai dari Bandung hingga pelosok-pelosok desa demam Superkid ini semua berkat strategi promosi yang sangat profesional dari Denny Sabri dengan majalah Aktuilnya bahkan wartawan Sondang Napitupulu almarhum karena saking salutnya ketika menyaksikan pagelaran Superkid Pertama di TIM terutama ketika permainan Jelly Tobing pada lagu How (hingga stick drum-nya patah!)dia sampai berteriak ”Hidup Superkid! , Hidup Batak!”(karena Jelly Tobing Batak !) Album-albumnya yang yang banyak menggunakakan bahasa Inggris yaitu : Trouble Maker dan Dezember Break. Superkid memiliki lagu-lagu andalan yang sering mereka nyanyikan dipanggung antara lain: Trouble Maker, Sixty Years On, How, Blue Light City, I Saw Her Standing There dll keunggulan Superkid ini terletak dari gaya panggung Deddy Stanzah yang memikat disamping accent Inggrisnya yang nyaris seperti bule.
Tapi seperti istilah Bens Leo katakan ; Superkid akhirnya tewas juga !, pada tahun 1978, setelah menghasilkan lagu hit 'Gadis Bergelang Emas' karena salah atur/mismanajemen atau mungkin Denny Sabri sudah lebih konsentrasi dalam menggarap penyanyi-penyanyi solo baru.
PHILOSOPHY GANG OF HARRY RUSLI
Harry Roesli bernama lengkap Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli, adalah tokoh dikenal melahirkan budaya musik
kontemporer yang berbeda, komunikatif dan konsisten memancarkan kritik sosial. Karya- karyanya konsisten memunculkan kritik sosial secara lugas dalam watak musik teater lenong. Harry berpenampilan khas, berkumis, bercambang, berjanggut lebat, berambut gondrong dan berpakaian serba hitam. Lahir di Bandung, 10 September 1951, Pada awal 1970-an, namanya sudah mulai melambung. Saat membentuk kelompok musik Gang of Harry Roesli bersama Albert Warnerin, Indra Rivai, Harry Pochan, Janto Sudjono dan Janto Diablo mereka sempat membuat album yang penomenal diawal tahun 70’an yang lagu lagu terkenalnya terdiri antara lain ”Peacock Dog, ”Don’t Talk About Freedom” Malaria, ”Borobudur” dll.
Di tengah kesibukannya bermain band, dia pun mendirikan kelompok teater Ken Arok, 1973. Setelah melakukan beberapa kali pementasan, antara lain, Opera Ken Arok di
TIM Jakarta pada Agustus 1975, grup teater ini kemudian bubar, karena Harry mendapat beasiswa dari Ministerie Cultuur, Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM), belajar ke Rotterdam Conservatorium, Belanda.
Menurut penuturan Theodore KS, selama belajar di negeri kincir angin itu, Harry juga aktif bermain
piano di restoran-restoran Indonesia dan main band dengan anak-anak keturunan Ambon di sana. Selain untuk menyalurkan talenta musiknya sekaligus untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya yang tidak mencukupi dari beasiswa.
Gelar Doktor Musik diraihnya pada tahun
1981, kemudian selain tetap berkreasi melahirkan karya-karya musik dan teater, juga aktif mengajar di Jurusan Seni Musik di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Universitas Pasundan Bandung.
Dia ini juga kerap membuat
aransemen musik untuk teater, sinetron dan film, di antaranya untuk kelompok Teater Mandiri dan Teater Koma. Juga menjadi pembicara dalam seminar-seminar di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri, serta aktif menulis di berbagai media, salah satunya sebagai kolumnis Kompas Minggu.
Selain itu juga membina para seniman jalanan dan kaum pemulung di Bandung lewat
Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang didirikannya. Rumahnya di Jl WR Supratman 57 Bandung dijadikan markas DKSB. Rumah inilah yang pada tahun 1998 menjadi pusat aktivitas relawan Suara Ibu Peduli di Bandung. Rumah ini ramai dengan kegiatan para seniman jalanan dan tempat berdiskusi para aktivis mahasiswa. Dimana kerap lahir karya-karya yang sarat kritik sosial dan bahkan bernuansa pemberontakan terhadap kekuasaan Orde Baru. Bersama DKSB dan Komite Mahasiswa Unpar, Harry Roesli mementaskan pemutaran perdana film dokumenter Tragedi Trisakti dan panggung seni dalam acara "Gelora Reformasi" di Universitas Parahyangan. Dalam acara ini kembali dinyanyikan lagu Jangan Menangis Indonesia dari album LTO (Lima Tahun Oposisi), Musica Studio, 1978.
Setelah reformasi, saat pemerintahan
BJ Habibie, salah satu karyanya yang dikemas 24 jam nonstop juga nyaris tidak bisa dipentaskan. Juga pada awal pemerintahan Megawati, lagi-lagi Harry buat ulah, dia sempat diperiksa Polda Metro Jaya gara-gara memelesetkan lagu wajib Garuda Pancasila.
Ditulis oleh MH Alfie Syahrine (Pemerhati musik progressive rock)

Note:
Artikel ini ditulis sebelum Kang Denny Sabri, Kang Deddy Stanzah, Kang Delly Kang Bonny dan Kang Gito wafat.

Thanks to:

Mr Riza Sihbudi
Mr Ali Gunawan
Mr Theodore KS
Mr Bens Leo

03 February 2009

NICKY ASTRIA

Nicky Astria terlahir dengan nama Nicky Nastitie Karya Dewi. Album pertamanya, Semua Dari Cinta, dirilis tahun 1984 pada saat usianya masih 17 tahun di bawah arahan musik Jelly Tobing. Sayang album pertama ini belum mampu mendongkrak popularitas Nicky Astria. Tapi dari album inilah awal perkenalan Nicky dengan musisi-musisi hebat Indonesia pada masa itu seperti Ian Antono, Jelly Tobing dan Dodo Zakaria.



Pada tahun 1985 mojang priangan ini kembali masuk dapur rekaman untuk merilis album Jarum Neraka dengan penata musik Ian Antono dibawah naungan Billboard Record (kalau tidak salah Nicky Astria adalah penyanyi Indonesia pertama yang dikontrak oleh Billboard).

Lewat album inilah nama Nicky Astria mulai dikenal publik sebagai lady rocker. Pada masa itu selain Nicky Astria ada tiga lady rocker lain yang lebih dulu dikenal yaitu Euis Darliah, Renny Jayusman dan Sylvia Sartje. Namun ketiganya pada saat itu bisa dibilang vakum (Euis Darliah setahu saya sudah hijrah ke luar negeri). Faktor inilah yang ikut mendongkrak popularitas Nicky Astria selain tentu saja karena karakter vokalnya yang kuat dan wajahnya yang cantik. Hmmm....

02 February 2009

FREDDIE TAMAELA

Nama Freddie Tamaela (alm) pada masanya selalu diidentikan dengan vokalis Genesis, Phil Collins. Maklum saja, Nyong Ambon ini memang memiliki karakter vokal yang mirip dengan Phil Collins dan band tempat dia menyalurkan bakatnya adalah Cockpit Band yang memang kerap membawakan lagu-lagu dari Genesis.
Album Tetangga yang dirilis tahun 1985(?) arransemen musiknya digarap oleh Rony Harahap, yang juga pernah memperkuat Cockpit Band. Jadi sudah bisa ditebak pengaruh Genesis masih sangat kuat. Pada lagu Lari Dan Lari mirip dengan Turn It On Again-nya Genesis. Lagu Bila dipengaruhi I Can't Not Believe It's True-nya Phil Collins. Demikian pula pada lagu Ada yang berarransemen Mama dan In The Air Tonight.
Hal ini wajar saja karena memang band-band progressive seperti Genesis, ELP, Yes dan Pink Floyd sampai yang beraliran newwave macam Duran Duran dan The Police sangat kuat pengaruhnya pada musisi-musisi Indonesia era 70-80an seperti Guruh Gipsy, Abbhama, Wow! dan lain-lain (kalau Cockpit sih gak usah disebut lagi karena mereka jelas-jelas memproklamirkan diri sebagai Genesis-nya Indonesia).
*Berhubung reviewnya hasil pemikiran pribadi (hitung-hitung belajar nulis) dan sedikit nyolong-nyolong dari Mas Nugroho Wahyu Utomo jadi mohon saran dan komentarnya (ayo Mas Wahyu)

FREDDIE TAMAELA - ALBUM TETANGGA (1985)

01 February 2009

Siapa Dia??

Postingan pada Februari 2009 ini saya awali dengan hasil temuan saya setelah berkelana di dunia maya. Meskipun mungkin tidak sesuai dengan misi blog tercinta ini (minimal oleh saya sendiri), tapi lumayanlah sekedar nambah-nambah postingan.


Begitu lihat tampangnya yang cute saya jadi penasaran, siapa sih sebenernya Christina ini? Kok saya baru denger ada penyanyi tempo doeloe yang bernama Christina. Lalu saya coba bertanya pada ibu saya waktu beliau sedang nonton Cinta Fitri 3 "Ibu, apakah Ibu pernah mengenal penyanyi yang bernama Christina?"

Beliau menjawab dengan mantap,"Ya tahu dong, dia kan salah satu diva dangdut."

"Maksud saya bukan Christina dengan K, tapi dengan Ch. Itu lho penyanyi seangkatan Lilis Surjani (dan tentu saja saya memakai 'y' bukannya 'j')." saya mencoba menjelaskan sambil memperdengarkan lagu Bintang Tjitaku.

"Enggak tahu tuh." kata ibu sambil menggelengkan kepalanya (saya jadi curiga jangan-jangan ibu saya dulu gak gaul nih... hehehe).

Kalo baca ejaannya sih mungkin Christina eksis sekitar tahun 60an (mungkin juga deket-deket Peristiwa Pemberontakan G-30-S/PKI... hehehe). Konon Tante Christina ini terkenal bukan karena kualitas vocalnya, bukan juga karena teknik bernyanyinya dan bukan juga karena pembawaan lagunya. Tapi Christina terkenal karena gabungan dari ketiganya (ada ada aja promosi orang tempo doeloe).

Kualitas rekamannya juga masih purba banget, kelihatan kalo belum pernah didaur ulang. Tapi inilah harta karun yang menjadi sejarah perjalanan musik tanah air. Kalo penasaran download aja 4 lagu di bawah ini. Saya jamin anda pasti akan mesam mesem sendiri.

  1. Christina - Bintang Tjitaku
  2. Christina - Indahnja Panorama
  3. Christina - Dewi Purnama
  4. Christina - Hanja Bintang Bintang